Rabu, 13 Maret 2013

bukan itu

saat dimulai pilihan hidup untuk selalu BELAJAR TIADA HENTI SAMPAI MATI, tidak ada niatan untuk mengajari kepada orang lain dan menggurui apalagi, mungkin Allah Al-Bari' yang menginginkan saya belahjar dengn cara ini menjadi bagian dari "atasan" sangat tidak menyenangkan bagi idealis diri saya, karena itu bukan penghilang dahaga intelektualku. belajar dari sang Khalifah Umar Ibn Khattab r.a. yagn menjadi pemimpin umat ideal, mencintai yang rosul cinta, membenci yang rosulbenci walau dengan tetap mencoba memberi masukan manusiawi. yah... beliau yang pernah mengatakan "jika ada rakyatku yang lapar, biarlah aku yang pertama meraa lapar" khalifah yang selalu memonitor rakyat dengan caranya. beliau yang amanah dengan gayanya... sungguh dicintai oleh umatnya... ketika terpilih menjadi pemimpin, BUKAN itu yang dituju. ketika harus di depan, BUKAN itu tujuannya. tetapi tanggung jawab besar untuk membawa komunitas followernya diridhoi Allah.

Senin, 20 Oktober 2008

DETIK-DETIK KELAHIRAN GENERASI


Semua orang tua sudah semestinya menginginkan kelahiran anak untuk meneruskan keturunanya. Dan saya sebagai seorang suami betul-betul merasakan sayang kepada istri saat mengandung keturunan kami, apalagi saat perutnya membuncit tanda kelahirannya semakin dekat saya bertambah sayangnya kepada istri. Rela untuk tidak pergi jauh-jauh darinya karena kita tidak pernah tahu kapan persisnya bayi kita akan lahir. Kalau sang istri mulai mulas-mulas maka rasa takut bertambah gembira dicampur dag-dig-dug saja yang ada, maklumlah kehamilan pertama dan tentunya menunggu kelahiran pertama.

Suatu pagi kira-kira... pukul 08:30 istriku merasa mulas seperti ingin BAB (Buang Air Besar), tidak seperti biasanya. Saya juga tidak seperti biasanya, sangat serius memijit-mijit kakinya –walaupun bukan kakinya yang sakit--, “de.. mau ke RB (Rumah Bersalin)?” kataku karena sudah sangat bingung tidak bisa meredakan rasa sakit istri. “sebentar dulu mas, biar kutahan dulu” jawab istriku luar biasa, sudah begitu hebatnya menahan rasa sakit sakit yang dating berbaris. Ternyata istriku masih ragu karena usia kehamilannya baru 38 minggu. (matangnya usia kehamilan adalah 38 minggu, bagus lahir saat 40 minggu/biasanya dokter menentukan hari lahir bayi) walaupun sudah layak untuk lahir tetapi istriku tidak begitu yakin.

“auw… ya Allah..” lagi istriku mengerang. “ade.. ayo kita ke RB saja” aku meminta, “iya mas… nanti kalau sudah reda sakitnya”
Bergegas kami menuju ke RB dengan sepeda motor, tentunya dengan suangat hati-hati, tepatnya juga dengan sangat susah saya mengendarainya, kalau pelan, istriku sudah tidak tahan menahan rasa sakit di atas kendaraan, penginnya cepat sampai, kalau cepet saya mengendarai sepda motornya jelas sangat menyiksa dengan jalan aspal yang tidak halus (tolong dong pemerintah kalau nambal jalan yang halus, minimal sama dengan jalan yang ditambal, bukannya tambah benjal-benjol).

Ketika sudah didampingi bidan di RB, saya agak reda (sementara), bidan mengatakan baru pembukaan 3 (hasil VT/Vaginatuse), masih 7 lagi, “mau pilih kamar mana?” Tanya bidan. Aku pilih yang kamar mandi di dalam, “yang ini 1.700.000/4 hari kalau lahir normal” terang bidan sambil menunjukkan kamarnya. Ya Tuhan untuk melahirkan di RB di pinggiran kota kecil saja sudah sedemikian mahalnya, apalagi di kota besar yang fasilitasnya lebih lengkap? Kenapa juga harus 4 hari? Ah tau ah itu urusan manajemen RB.

Lagi, istriku menjerit-jerit karena sakit mendorong perut bawahnya, aku sangat serius mempedulikannya, tidak dengan bidan (ma’af). Sementara aku memperhatikan istri yang sedang mengerang, sang bidan senior dengan asyiknya telepohon dengan keras dan ketawa-tawa, sementara bidan yunior yang memegangi istriku sambil asyik main SMS, mungkin bagi mereka melihat proses kelahiran adalah biasa-biasa saja yang sering merka jumpai, mendengar teriakan karena sakit juga biasa mereka dengar, tapi tidak bagi aku yang baru akan memiliki seorang bayi, bayi yang diidamkan lahir dengan selamat, begitu juga dengan keselamatan bundanya… kenapa mereka seakan tidak pedul… bidan tolong istriku dong…. Dia mau melahirkan jam berapa? “masih lama mas baru pembukaan 5” “HAaaaH !!!” jam 10 pagi sudah 3, sekarang jam 16.30 baru 5? Sementara 2 menit sekali istriku diseruduk rasa mual yang sakit…

Ya Allah terima kasih kau ingatkan aku untuk lebih berbakti kepada orang tua, Engkau berikan aku kesempatan menyaksikan mukjizatmu melahirkan manusia dari rahim bunda denga sangat payah… pantas saja jika Rosulullah memberikan penghargaan yang luar biasa kepada kaum ibu. Betul-betul tidak terbalas jika seluruh bunga dan bintang aku persembahkan kepada ibu karena telah melahirkan aku ke dunia.

Aku pegang tangan isti yang sedang mengejan, maaf barangkali aku tidak bisa menceritakan bagian ini dengan persis, aku tidak bisa menciptakan kata untuk peristiwa ini. Bagaimana aku melihat wajah istriku yang sedang berjuang hidup dan mati untuk membantu menghidupkan anak kami, bagaimana aku melihat matanya yang sedang menahan sakit tapi tidak boleh menangis, karna kalau menangis akan mengganggu pernafasannya, ya Allah aku bisa membantu apa? Ikut mengerang kah? Ikut mengejan kan? Atau ikut berkeringat kah? Ya Allah selamatkan istriku dan sang generasi…

Anakku sekarang kamu sudah lahir dengan ukuran kurang dari normal hanya 2,4 kg (normal minimal 2,5kg), bundamu masih harus berjuang untuk membesarkanmu dari sisi ukuran. Dan kami sedang mempersiapkanmu menghadapi dunia ini… satu pesan kami “ingatlah aalastu birobbikum, qoluu balaa syahidna.. ingatlah Allah Tuhanmu”

Rabu, 10 September 2008

MENGAJARKAN PAI (Pendidikan Agama Islam)

Oleh : Kharis Saefudin, S.Pd.I

MUQODIMAH
Banyak dari umat muslim yang selama ini mengerti dan mengamalkan ibadah-ibadah dengan hanya berdasarkan “katanya” yang ternyata banyak pula karena mereka tidak tahu pasti apa dan bagaimana ibadah itu dilaksanakan, sehingga menganggap bahwa ibadah itu hanya sekedar kewajiban yang lama kelamaan menjadi beban yang memberatkan. Tidak hanya ibadah-ibadah praktis, tentang tauhidpun banyak umat Islam yang mengimani atas doktrin belaka yang mengakibatkan apa yang diimani tidak menancap ke hati karena tidak didukung oleh piranti-piranti pikir dan hati.
Sering kita memperhatikan para mualaf (orang yang baru masuk Islam) lebih komitmen dan bergairah dalam pencarian pengetahuan agama dan sekaligus pengamalannya daripada mereka yang menganut Islam sejak lahir. Rata-rata karena mereka meraa pengetahuan dan pengamalan ibadah dan kebutuhan, yang perasaan ini datang ketika mereka befikir dengan didukung dengan data-data faktual.
Sedangkan proses befikir inilah yang sebenarnya akan sangat baik dipicu dan dipacu ketika anak masih muda dan segar dalam berfikir. Dan pendidikan berperan besar disini, khususnya lembaga pendidikan yang bernama sekolah.
Jumlah jam yang sedikit dalam pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) yang sering menjadi bahan keluhan guru sesungguhnya bisa disikapi dengan pembelajaran yang efektif dengan metode-metode inovatif dan dengan pendekatan yang releven.

RASA DAN RASIO
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang optimal dibutuhkan piranti pikir dan hati, maka penting juga memahami materi-materi PAI melalui dua dimensi yaitu dimensi wahyu dan dimensi akal. Petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Allah berupa wahyu tentu sinyalnya akan lebih mudah ditangkap oleh manusia melalui akal, karena bukan tanpa maksud Allah menciptakan manusia berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia diberi kelebihan berupa fasilitas akal untuk berfikir dan iqra’ sehingga menjadi makhluk yang mulia, sebaliknya akan menjadi makhluk yang hina dina seperti hewan ternak jika manusia tidak mampu menggunakan komponen-komponen kemanusiaan secara optimal.[1]
Lantas bukan berarti akal lebih dari segala-galanya untuk memahami Godvalue (nilai-nilai ketuhanan) melalui PAI, tetapi yang dibutuhkan adalah balancing rasa keberagamaan melalui hati nurani terdalam sebagai Godspot[2] dan akal pikiran sebagai penemuan data faktual yang ada di lapangan. Sehingga, diharapkan peserta didik memahami Allah sebagai pencipta (خالق) dan manusia sebagai makhluk (مخلوق) yang tentunya diantaranya harus ada cara, metode, pola tingkah (اخلاق) baik Allah kepada manusia maupun sebaliknya manusia kepada Allah.
Berawal dari rasa ketauhidan yang mantap, maka dalam melaksanakan ibadah-ibadah juga diharuskan tidak hanya karena ritual belaka, peserta didik harus mampu memahami fungsi dan manfaatnya ibadah itu dilaksanakan. Shalat misalnya, bagaimana pendidik bisa memberikan gambaran yang realistis tentang manfaatnya. Kenapa harus ruku’, sujud, dan lain sebagainya. Selain rukun-rukun tersebut diajarkan oleh Rosulullah sebagai syariat, sesungguhnya kita juga harus mampu membaca nilai-nilai shalat dan mengambil manfaatnya dalam kehidupan di dunia. Puasa, zakat, haji, dan semua materi-materi PAI sesungguhnya mengandung nilai yag besar untuk bisa disampaikan kepada peserta didik untuk menumbuhkan keimanan sekaligus mereka merasa butuh untuk mengamalkannya. Pendeknya, penulis merasa pendekatan rasa dan rasio sangat efektif untuk memicu hati dan pikir yang sesungguhnya telah dimiliki oleh individu manusia termasuk peserta didik.
Tentunya pendekatan rasa dan rasio tersebut --sekali lagi-- harus balance juga tidak berlebihan, harus memahami dunia peserta didik, bukankah sebuah metode yang bagus adalah yang pendidiknya mampu masuk ke dunia anak dan membawa dunia anak ke dunia ilmu yang sebenarnya.[3]

KHOTIMAH
Barang kali tidak berlebihan kalau penulis mengatakan sesungguhnya dalam pola pembelajaran PAI pada anak adalah untuk menumbuhkan rasa dan menggairahkan pengamalan peribadatan sebagai pondasi awal agar mereka memiliki spiritual yang tinggi sehingga menjadi syiar dan sekaligus menjadi pengubah citra bangsa yang hanya “bermain-main” dalam beragama.

[1] Lihat QS. Al-‘Arof :179
[2] Lihat Ary Ginanjar Agustian : 2002
[3] Lihat Bobbi de Porter dkk.