Rabu, 10 September 2008

MENGAJARKAN PAI (Pendidikan Agama Islam)

Oleh : Kharis Saefudin, S.Pd.I

MUQODIMAH
Banyak dari umat muslim yang selama ini mengerti dan mengamalkan ibadah-ibadah dengan hanya berdasarkan “katanya” yang ternyata banyak pula karena mereka tidak tahu pasti apa dan bagaimana ibadah itu dilaksanakan, sehingga menganggap bahwa ibadah itu hanya sekedar kewajiban yang lama kelamaan menjadi beban yang memberatkan. Tidak hanya ibadah-ibadah praktis, tentang tauhidpun banyak umat Islam yang mengimani atas doktrin belaka yang mengakibatkan apa yang diimani tidak menancap ke hati karena tidak didukung oleh piranti-piranti pikir dan hati.
Sering kita memperhatikan para mualaf (orang yang baru masuk Islam) lebih komitmen dan bergairah dalam pencarian pengetahuan agama dan sekaligus pengamalannya daripada mereka yang menganut Islam sejak lahir. Rata-rata karena mereka meraa pengetahuan dan pengamalan ibadah dan kebutuhan, yang perasaan ini datang ketika mereka befikir dengan didukung dengan data-data faktual.
Sedangkan proses befikir inilah yang sebenarnya akan sangat baik dipicu dan dipacu ketika anak masih muda dan segar dalam berfikir. Dan pendidikan berperan besar disini, khususnya lembaga pendidikan yang bernama sekolah.
Jumlah jam yang sedikit dalam pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) yang sering menjadi bahan keluhan guru sesungguhnya bisa disikapi dengan pembelajaran yang efektif dengan metode-metode inovatif dan dengan pendekatan yang releven.

RASA DAN RASIO
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang optimal dibutuhkan piranti pikir dan hati, maka penting juga memahami materi-materi PAI melalui dua dimensi yaitu dimensi wahyu dan dimensi akal. Petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Allah berupa wahyu tentu sinyalnya akan lebih mudah ditangkap oleh manusia melalui akal, karena bukan tanpa maksud Allah menciptakan manusia berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia diberi kelebihan berupa fasilitas akal untuk berfikir dan iqra’ sehingga menjadi makhluk yang mulia, sebaliknya akan menjadi makhluk yang hina dina seperti hewan ternak jika manusia tidak mampu menggunakan komponen-komponen kemanusiaan secara optimal.[1]
Lantas bukan berarti akal lebih dari segala-galanya untuk memahami Godvalue (nilai-nilai ketuhanan) melalui PAI, tetapi yang dibutuhkan adalah balancing rasa keberagamaan melalui hati nurani terdalam sebagai Godspot[2] dan akal pikiran sebagai penemuan data faktual yang ada di lapangan. Sehingga, diharapkan peserta didik memahami Allah sebagai pencipta (خالق) dan manusia sebagai makhluk (مخلوق) yang tentunya diantaranya harus ada cara, metode, pola tingkah (اخلاق) baik Allah kepada manusia maupun sebaliknya manusia kepada Allah.
Berawal dari rasa ketauhidan yang mantap, maka dalam melaksanakan ibadah-ibadah juga diharuskan tidak hanya karena ritual belaka, peserta didik harus mampu memahami fungsi dan manfaatnya ibadah itu dilaksanakan. Shalat misalnya, bagaimana pendidik bisa memberikan gambaran yang realistis tentang manfaatnya. Kenapa harus ruku’, sujud, dan lain sebagainya. Selain rukun-rukun tersebut diajarkan oleh Rosulullah sebagai syariat, sesungguhnya kita juga harus mampu membaca nilai-nilai shalat dan mengambil manfaatnya dalam kehidupan di dunia. Puasa, zakat, haji, dan semua materi-materi PAI sesungguhnya mengandung nilai yag besar untuk bisa disampaikan kepada peserta didik untuk menumbuhkan keimanan sekaligus mereka merasa butuh untuk mengamalkannya. Pendeknya, penulis merasa pendekatan rasa dan rasio sangat efektif untuk memicu hati dan pikir yang sesungguhnya telah dimiliki oleh individu manusia termasuk peserta didik.
Tentunya pendekatan rasa dan rasio tersebut --sekali lagi-- harus balance juga tidak berlebihan, harus memahami dunia peserta didik, bukankah sebuah metode yang bagus adalah yang pendidiknya mampu masuk ke dunia anak dan membawa dunia anak ke dunia ilmu yang sebenarnya.[3]

KHOTIMAH
Barang kali tidak berlebihan kalau penulis mengatakan sesungguhnya dalam pola pembelajaran PAI pada anak adalah untuk menumbuhkan rasa dan menggairahkan pengamalan peribadatan sebagai pondasi awal agar mereka memiliki spiritual yang tinggi sehingga menjadi syiar dan sekaligus menjadi pengubah citra bangsa yang hanya “bermain-main” dalam beragama.

[1] Lihat QS. Al-‘Arof :179
[2] Lihat Ary Ginanjar Agustian : 2002
[3] Lihat Bobbi de Porter dkk.

Tidak ada komentar: