Rabu, 10 September 2008

Dengarkan Tuhan

Oleh : Kharis Saefudin

Lebih dari setengah abad bangsa ini menyatakan merdeka dan mandiri menentukan nasibnya sendiri. Berbagai masa telah dilewati dengan dilakoni oleh beberapa generasi yang semakin “mumpuni” ilmunya, sampai akhirnya sebuah orde yang mengharapkan perubahan dari para pendahulunya pun tidak mampu membuat bangsa ini berdiri dengan kakinya sendiri, masih minder untuk menepuk dadanya sendiri.
Satu persatu pelaku sandiwara Negara ini diseret ke jeruji besi karena perannya yang merugikan pementasan. Bukan hanya lakon yang tidak layak ditonton, panggung penyangganya pun sangat lemah, pembangunan infrasturkur hanya terlihat kokoh di kulitnya. Bangunan sekolah yang baru beberapa bulan diresmikan oleh “sutradara” telah roboh berantakan, inilah bukti “ketidakwarasan” para pemainnya.
Di negeri ini yang dulu ditanam bersma-sama oleh seluruh anak bangsa kini telah dipanen buahnya oleh segelintir badan para punggawanya. Ketimpangan social ada di depan mata kita. Sebagian besar rakyat negeri makmur ini tidur di kolong tol, hiddup di pinggir bantaran sungai, hidup di tenda-tenda pengungsian, sementara sebagian kecilnya badab-badan gemuk tidur di gedung kokoh dengan AC yang menyejukkan. Sementara rakyat kecil menderita busung lapar, makan nasi aking, tiwul tetapi para pejabatnya sering pesta di meja makan yang besr dengan menu-menu yang lezat dan sering dibuang di tempat sampah karena tuannya telah kekenyangan.
Siapapun lakonnya dan apapun judul pementasnnya tidak akan membawa negara ini kepada kemajuan jika para pemimpinnya masih split personality, bermuka dua, munafik, tidak mampu mendengar suara Tuhan.
Suara Tuhan yang sebenarnya ada disetiap hati manusia selalu menunjukkan mana yang boleh dan tidak boleh dikerjakan dan selalu benar jika manusia mampu mendengarkannya. Inilah hati nurani yang tidak pernah berbohong karena hati nurani itulah suaraa Tuhan yang memberi petunjuk.
Pemimpin yang bisa mendengarkan hati nurani tidak akan split personality, dia akan takut pada kesalahan yang dibuat, dia akan selalu bisa melihat keadaan rakyat yang sebenarnya, bukan dari laporan-laporan yang meninabobokan. Seperi pemimpin besar Umar bin Khotob yang berani mengatakan “jika rakyat lapar biarlah aku yang pertama merasakannya, dan jika rakyat merasa bahagia biarlah aku yang terakhir merasakannya”
Para founding fathers bangsa ini meletakkan nilai-nilai transendental di sila pertama dasar negara bukan tanpa alasan. Hal ini dihaarapkan negara ini berjalan dengan nilai-nilai spiritual yang dijunjung tinggi lebih dari semuanya. Ironisnya, kalau diperhatikan banyak anak bangsa negeri ini yang menjadikan agama sebagai “main-main” belaka. Kitab suci dijadikan saksi pada pelantikan-pelantikan resmi, nama Tuhan disebut-sebut ketika acara-acara resmi, tetapi pada perjalanannya mereka tidaklah menggunakan kitab suci sebagai rel kebijakannya, bahkan mengabaikannya. Para artis yang menjadi pujaan atau idol bangsa ini ramai-ramai ‘sok alim’ saat-saat bulan suci tetapi lepas dari itu, agama tinggal sebagai penghias kartu identias.
Imbasnya, kepercayaan bangsa ini terhadap Tuhan hanya sebatas mulut bicara, bukan pada aplikasi. Apabila semua orang yakin betul bahwa Tuhan benar-benar Ada dan Memperhatikan segala tingkahnya tentunya manusia akan merasa malu jika harus corrupt, bukan pada negara, bukan pada atasan tetapi malu kepada Mata Tuhan yang tidak pernah tidur.
Nilai-nilai spiritual seperti ini harusnya dimiliki oleh para stickholder yang memegang kebijakan bangsa ini sehingga akan membawa perubahan yang signifikan terhadap kemajuan bangsa. Nilai spiritual ini yang mampu melihat nasib rakyat yang harusnya dimiliki oleh para pemimpin sehingga mereka tidak hanya peduli dengan perutnya sendiri.

Tidak ada komentar: